Rangkuman Teori-Teori Cybersociety

  1. CYBERSPACE (Dunia Maya)

Berawal dari Live Aid dan Net Aid.

  • Live Aid (1980):

Sebuah pagelaran konser secara kolosal yang berlangsung dibeberapa kota-kota besar, seperti London, Philadelpia, Sydney dan Moskow. Dan tercatat sebagai Broadcast terbesar dalam sejarah pertelevisian, dengan sekitar 1,9 miliar pemirsa di 150 negara yang menyaksikan tayangan ini secara langsung. Tujuan diadakannya acara ini yaitu untuk mengumpulkan dana bagi penanggulangan kelaparan di Negara Ethiopia.

  • Net Aid (1999):

Media yang menghubungkan jaringan dari setiap orang-orang yang berada di negara-negara dengan perekonomian dan informasi yang cukup besar yang dapat membantu negara-negara atau orang-orang lain yang sedang membutuhkan. Dan dilakukan secara on-line.

    2. CYBERSPACE & VIRTUAL REALITY

Cyberspace merupakan sebuah media elektronik dalam jaringan komputer yang banyak dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal balik secara on-line. Sifat dari cyberspace sendiri yaitu artivisial dimana setiap orang melakukan apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru. Sedangkan Virtual Reality adalah teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu  lingkungan yang disimulasikan oleh komputer (Computer Simulated Environment), suatu lingkungan sebenarnya yang ditiru atau bahkan benar-benar suatu lingkungan yang hanya ada dalam imajinasi. Jadi hubungan dari keduanya adalah Cyberspace menawarkan realita terbaru dalam kehidupan manusia yang disebut dengan Virtual Reality

    3. CYBERSPACE & INTERNET

Cyberspace merupakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (Computer Mediated Communication). Internet sendiri didefinisikan sebagai jaringan komputer yang menghubungkan situs akademik, pemerintahan, komersil, organisasi maupun perorangan. Saat ini, internet telah bergabung kedalam network of network’s alias jaringan bagi berbagai jaringan. Dan sebagian besar berasal dari Negara Amerika Serikat, jaringan-jaringan yang telah menambahkan dirinya ke internet antara lain ARPANET (didanai oleh pemerintah), Fidonet (koperasi alternatif), Usenet, WELL, ribuan internet milik perusahaan & pemerintah, dan WWW (World Wide Web). Sedangkan sistem CMC yang sudah mendahului sebagaian besar dari network ini, semisal : email, news group, bulletin broad system, sekarang dilakukan dengan jaringan internet yang diperluas.

    4. Internet dan Sub-media

Menurut Castells, internet bukanlah samudra tanpa bentuk yang individu-individu bisa menyelam kedalamnya. Tetapi justru suatu galaksi berisi sub-sub media yang diatur: “internet telah disesuaikan oleh praktik sosial, dalam semua keragamannya, walau penyesuaian ini memang punya efek khusus pada praktik sosial itu sendiri”.

5. Daya Pikat Komunikasi Internet

Komunikasi internet juga menawarkan daya tarik yang lebih besar daripada jaringan lainnya (seperti telepon).

  1. Bandwith, kapasitas untuk menyampaikan kompleksitas.
  2. Terbentuknya Interaksi baru jenis yang secara historik unik.

TEORI-TEORI

  • Tesis Second Media Age –internet sebagai emansipasi dari media broadcast

Para teorisi second media age berpendapat bahwa aparat komunikasi broadcast maupun aparat komunikasi interaktif telah bersama-sama menentukan bentuk utama mediasi budaya dalam masyarakat informasi sejak perang dunia kedua.

Penulis semacam George Gilder dalam Life After Television (1994), Turkle Sherry dalam Life On The Screen (1995), atau Mark Poster dalam Second Media Age (1995) memahami dimana second media age telah timbul dibelakang kondisi-kondisi yang dihasilkan oleh first media age. Kondisi-kondisi ini yakni; produksi massa tak tentu oleh broadcast, pemisahan individu dari sarana produksi, kontribusi mereka sendiri dari komunikasi public, dan disentegrasi atas masyarakt tradisional. Semua ini masih dianggap bias diselesaikan dengan internet.

  • Perspektif CMC (Komunikasi yang Dimediasi Komputer)

Ada 4 cara utama dimana literature CMC berbeda dari tesis second media age.

  1. Terfokus kepada keunikan peristiwa komunikasi dalam cyberspace
  2. Lebih terikat pada interaksi daripada integrasi, yaitu seluk-beluk berbagai interaksi individu daripada konteks social keseluruhan dan ritual dimana interaksi ini menjadi bermakna
  3. Tidak seperti ‘studi-studi media’, beberapa kerangka kerja CMC lebih tertarik kepada bagaimana ‘faktor-faktor eksternal’ memengaruhi peristiwa komunikasi
  4. Walau tidak peduli pada jenis-jenis integrasi social yang mungkin mendukung CMC, itu lebih mengarah ke integrasi informasi, yakni cara dimana berkomunikasi dengan computer didasarkan dalam proses informasi yang dapat ditemukan dalam sejumlah interaksi yang dimediasi computer.
  • Teori Informasi

Teori Shannon dan Weaver adalah teori medium murni; tidak tertarik pada isi pesan, pemaknaannya, kemungkinan intensionalitas di belakang mereka, maupun kondisi social dan psikologis bagi penerimaan mereka. Namun, teori ini menjadi titik keberangkatan standar bagi ‘teori informasi’ seperti yang telah disesuaikan oleh disiplin ilmu lain dan perspektif lain.

  • CMC Sebagai Cyberspace

Salah satu prinsip utama teori CMC adalah komunikasi melalui computer memungkinkan suatu bentuk ‘ruang yang diproduksi secara sosial’ (Jones, 1995: 17), yaitu Cyberspace.

Menurut Jordan, CMC secara inheren adalah anti-hierarkis. Karena identitas di cyberspace jarang diidentifikasikan dengan hierarki secara off-line, diferensiasi berdasarkan status ini adalah sangat sulit terjadi. Kedua, kapasitas many-to-many dari internet menciptakan lingkungan yang jauh lebih inklusif dan partisipatif dimana budaya pengecualian yang sering terjadi dikehidupan off-line sulit untuk dilakukan.

  • Cmc dan masalah identitas

Smith (1995) berpendapat bahwa empat karaktristik interaksi yang ia ajukan bergabung untuk membuat interaksi virtual yang cukup anonim. Dalam banyak ruang virtual, anonimitas itu bisa terjadi sepenuhnya. Anonimitas tersebut telah di upayakan oleh beberapa peserta dalam interaksi virtual, karena potensinya untuk membebaskan seseorang dari identitas yang ada atau identitas yang di paksakan.

Jenis anonimitas tertentu, yang Samith jelaskan sebagai beroprasi dalam CMC, Jordan melihat sebagai fluiditas identitas yang beroprasi di cyberspace. Keluwesa ini, yang jauh lebih terbuka daripada keluwesa yang mungkin ada dalam kehidupan terwujud atau terlambang, membutuhkan penciptaan individual atas identitas diri yang stabil. Untuk alasan ini, lawan bicara dalam CMC cenderung manghabiskan lebih banyak waktu dibandingkan dalam bentuk-brntuk lain komunikasi untuk mengungkap informasi tentang diri mereka, status mereka, tempat, dan konteks lainnya.

  • Mengambil beberapa petunjuk off-line –konteks cmc

Dalam esai ‘The emergence of community in computer-mediated communication’ (1995), Baym berpendapat, “terlalu banyak karya tentang CMC yang mengasumsikan bahwa computer adalah pengaruh tunggal badi hasil komunikasi”(199). Baym mengidentifikasi lima sumber berbeda dari bagi dampak pada CMC; konteks eksternal dimana penggunaan CMC diatur; struktur temporal dari kelompok; infrastruktur dari sitem computer; tujuan-tujuan dimana CMC digunakan; dan karaktristik kelompok dan anggota (141).

  • Persepektif Konvergensi

Persepektif Konvergensi berkisar dari melihat ‘konvergensi industri’, hingga konvergensi medium, sampai ke konvergensi teknologi-teknologimedia secara individual.

  • Persepektif Urbanisasi Virtual

Saat perspektif konvegensi dan perspektif CMC sebagian besar mengabaikan pengaruh realitas eksternal, sebagaimana baym (1995) ungkapkan, tentu ada semakin banyak literatur yang khas berkaitan dengn konteks  urban  dari budaya media, yang baru maupun yang lama.

Secara implisit, urbanisasi virtual adalah perspektif yang mlihat kehidupan dilayar tidak begitu baru atau sebagai perkembanggan tambahan, tapi sebagai pengembangan internal dari logika modernitas dan dari jenis urbanisasi yang menyertarainya.

Fitur senteral dari urbanisasi yang relevan dengan munculnya  second media age adalah:

  • Skala yang meningkat bagi pemisahan spasial atas tempat kerja dari rumah tinggal.
  • Atomisasi dari populasi perkotaan menjadi unit-unit kosumsi.
  • Standardisasi lingkungan yng dibangun.
  • Privatisasi dan duplikasi atas akses ke properti dan sumber-sumber daya.
  • Kembalinya Mcluhan

Bagi Mcluhan, informasi lebih dari sekedar visi menjadi dasar bagi zaman elektrik. Suatu perbedaan terkenal yang mcluhan buat yang secara kasar sesuai untuk tesis firs media age versus tesis second media age adalh antara ‘hot’ media dan ‘cool’ medium. Hot medium meliputi radio, film, foto. Cool medium termasuk telepon dan tv.

Hot medium adalah yang yang memperluas indera tunggal dalam ‘high definition’. Definisi tingi ini adalah keadaan yang dipenuhi dengan data. Foto adalah, secara visual, ‘high definition’. Kartun adalah ‘low definition’ (definisi rendah), hanya karena sangat sedikit informasi visual yang disediakan. Telepon adalah cool medium, atau salah satu low definition, karena teling diberi informasi dalam jumlah sedikit. Ucapan adalah cool medium dengan low definition, kerena begitu sedikit yang di berikan dan begitu banyak yang di isikan oleh pendengar. Di sisi lain hot medium tidak meninggalkan terlalu banyak yang harus diisikan atau di tuntas kan oleh audiens. Hot medium, kerena itu, adalah rendah dalam hal partisipasi. Cool medium adalah tinggi dalam hal partisipasi atau penuntasan dipihak audiens. (Mcluhan, 1964: 31)

Implikasi social

  • Cyberspace sebagai rumah public baru

Salah satu implikasi paling menonjol dari ‘re-tribalization’ dari konsekuensi-konsekuensi second media age adalah cara bagaimana untuk memungkinkan penbaruan kembali ranah public. Dalam tahun 70-an, sejumlah pemikir mengutarakan penurunan individu publik dan ruang publik.

Dalam teks kunci mengenai peran internet dalam mengubah sifat ranah public, mark poster (1997) mengkelaim “hubungan-hubungan social kontemporer tampaknya di bebaskan dari tingkat dasar praktik itraktif” (217).

  • Publik/Privat

Sekarang yang privat ini ada dalam ranah public, sebagaimana mengambil argument Hartley-‘publik’ dapat ada di dalam ranah privat.

  • Masalah dengan tesis cyberspace public

Trevor Barr (2000) memecah berbagai jenis interaksi di internet ke dalam enam kategori:

  1. One to one messaging (mengirimkan pesan dari satu ke satu pihak) misalnya email.
  2. One to may massaging (mengirimkan pesan dari satu ke banyak) misalnya listsero.
  3. Data base pesan yang terdistribusi misalnya USENET new groups.
  4. Real-time communications (komunikasi langsung) misalnya internet Relay Chat.
  5. Pemanfaatan computer jarak jauh dalam waktu nyata,(misalnya telnet).
  6. Pencarian kembali informasi secara jarak jauh, misalnya Ftp, Gopher, dan word wide web (118).
  • Demokrasi dan intraksi

Persepektif tantangan zaman media era video, era internet (turkle), atau second media age (poster) adalah terlalu menyederhanakan dan terlalu determinis teknologis, karena mereka mengabaikan submedia dan subkultur yang internal bagi aparat media elektronik broadcast maupun intraktif. Model-model semacan itu cenderung menjadi satu dimensi dalam mereka memandang bentuk-bentuk asosiasi public, baik itu oleh gambar dan boardcast atau oleh informasi dan intraktivitas, sebagai saling ekskusif.

 

KONSEP IJTIHAD DALAM PERKEMBANGANNYA

Bab I

Pendahuluan

  1. Latar Belakang

Telah kita ketahui bahwa fiqih itu ialah segala hukum yang diambil dari Kitabullah dan Sunnatur Rasul dengan mempergunakan Ijtihad. Sehingga didalam makalah ini saya akan membahas tentang Ijtihad.

Oleh karena syari’at Islam adalah syari’at yang berdasarkan wahyu Ilahi, diambil dari dasar-dasar yang sudah terkenal, baik yang dinukilkan dari Nabi, seperti: Al-Qur’an, dan As-Sunnah, atau pun yang diujikan dengan akal, seperti: Ijma’, Qiyas, Istihsan, dll, menjadilah Ijtihad jalan yang harus kita lalui untuk mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil tersebut dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh mu’amalah dan hajat-hajat pergaulan.

Inilah sebabnya Ijtihad itu menjadi penggerak yang sangat diperlukan dalam sejarah pertumbuhan syara’.

Para mujtahid beramal dengan nash apabila mereka mendapatinya dan mempergunakan Ijtihad diketika mereka tidak memperoleh nash tersebut, lalu mereka mengqiyaskan, mengistihsankan, mengistislahkan, atau mengistidlalkan.

Akan tetapi, oleh karena mereka masing-masing mempunyai jalan-jalan sendiri dalam beristinbath, maka terjadilah mazhab teristimewa pada masa Abbasiyah.

Rumusan Masalah

  1. Jelaskan definisi Ijtihad secara estimologi dan juga terminologi ?
  2. Apa dasar hukumnya berijtihad ?
  3. Sebutkan syarat-syarat menjadi seorang Mujtahid ?
  4. Apa konsep Ijtihad dan juga perkembangannya dalam hukum Islam ?
  5. Berilah salah satu contoh Ijtihad pada masa sahabat Nabi ?

Tujuan

  • Untuk mengetahui Ijtihad menurut estimologi dan juga terminologinya.
  • Untuk mengetahui dasar hukum dalam berijtihad
  • Untuk mengetahui apa yang menjadi persyaratan seorang Mujtahid
  • Untuk mengetahui konsep ijtihad dan perkembangannya dalam hukum Islam
  • Untuk mengetahui sekaligus mengimplementasikan Ijtihad dengan benar dalam menegakkan hukum Islam

 

Bab II

Pembahasan

Definisi Ijtihad

Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Ini bermakna usaha lebih kuat dan bersungguh-sungguh. Oleh sebab itu, Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya. Sedangkan definisi Ijtihad secara terminologi adalah

عمليّة استنباط الآحكام الشّرعيّة من أدلّتها التّفصيليّة فى الشّريعة

“Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.”

Dengan kata lain, Ijtihad ialah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).[1] Sedangkan menurut Ulama Ushul  menetapkan bahwa Ijtihad itu ialah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari Kitabullah dan Hadits Rasul.[2]

Pada prinsipnya, Ijtihad merupakan manifestasi pemikiran kefilsafatan. Oleh karena itu seorang Mujtahid dituntut untuk melakukan obyektivitas yang tinggi dan menguasai ilmu-ilmu alat seperti pengetahuan bahasa Arab, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, pengetahuan tentang Ijma’, Qiyas, dan lain sebagainya. Lebih tepatnya seorang Mujtahid harus mengetahui dalil-dalil yang tergolong kedalam dalil Ijtihadi (dalil yang bukan nash, tetapi yang berasal dari akal yang hubungannya tidak terlepas dari nash), yaitu Ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Syar’u Man Qablana, Sadduzarai’, dan Madzhab Sahabat. Dengan kata lain, dalil-dalil inilah yang diperlukan dalam berijtihad disamping Al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan utama.[3]

Dengan demikian dari pengertian diatas dapat saya simpulkan Ijtihad menurut etimologi ialah usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu, sedangkan menurut terminologi Ijtihad berarti mengeluarkan segala kesanggupan dan juga segala daya upaya dari seorang faqih untuk menentukan hukum syara’ dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi saw.

 

 

 

 

 

Dasar Hukum Ijtihad

  1. Wajib ‘Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian juga wajib ‘ain, apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ingin mengetahui hukumnya
  2. Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada Mujtahid lain. Apabila semuanya meninggalkan Ijtihad, maka mereka berdosa.
  3. Sunnat, yaitu Ijtihad suatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak.[4] Adanya keterangan sunnah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:

Hadits yang diriwayatkan oleh Umar:

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله أجر

“jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”[5]

 Syarat-Syarat Menjadi Seorang Mujtahid

Ulama Ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat Ijtihad yang harus dimiliki oleh seorang Mujtahid. Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang Mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Menguasai dan mengetahui ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
  2. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
  3. Mengetahui nasikh dan mansukh dari Al-Qur’an dan Hadits.
  4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui Ijma’ ulama, sehingga Ijtihadnya tidak bertentangan dengan Ijma’.
  5. Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratannya serta mengistinbathkannya, karena Qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
  6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai macam problematikanya.
  7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, karena ilmu tersebut merupakan fondasi dari Ijtihad.
  8. Mengetahui Maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum. Maksudnya menjaga kemaslahatan menjauhkan dari kemudharatan.[6]

 

 

 

Konsep Ijtihad dan Perkembangannya

Telah kita ketahui bahwa Ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasulullah saw. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka Ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya.dalam hubungan inilah, Asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti diketahui bahwa tidak setiap kasus terdapat nash-nya. Apabila nash-nya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus menerus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu terbatas tidak dapat mungkin mengikuti sesuatu yang terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setip kasus ada Ijtihad mengenainya.

Dalam masalah fiqih, Ijtihad bi Ar-ra’yu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Umar Ibn Khattab sering menggunakan ijtihad ini apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur’an dan Hadits.demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadits. Umar sendiri dipandang sebagai pemuka ahl ar-ra’yu.

Demikianlah penggunaan ra’yu terus berlangsung secara alami. Pada zaman imam Syafi’i, cara penggunaan ra’yu itu disistematiskan sehingga ada kerangka acuan yang jelas, seperti apa yang dikenal dengan metode al-qiyas (analogi). Imam Syafi’i yang mula-mula meletakkan persyaratan qiyas yang valid sehingga qiyas itu dapat dijadikan alat penggalian hukum yang sahih.

Setelah Rasulullah saw. Wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sabahat. Mereka melaksanakan  kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah tersebut, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti ini mendorong pemuka sahabat untuk berijtihad.

Upaya pencarian hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu dilakukan pemuka sahabat dengan berbagai tahapan. Pertama-tama, mereka berusaha mencari hukum itu dari al-Qur’an dan apabila hukum itu telah ditemukannya, maka berpegang teguh pada hukum tersebut, walaupun sebelumnya mereka berbeda pendapat. Selanjutnya, apabila masalah itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an, mereka mencarinya dalam hadits dengan cara menggali hadits dan menanyakan hadits yang berkenaan dengan masalah yang tengah dihadapinya kepada para sahabat. Apabila masalah itu tidak ditemukan dalam hadits tersebut, mereka baru melakukan Ijtihad.[7]

Ijtihad Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab

  • Sistem Umar bin Khattab dalam berijtihad

Dapat diamati dari 2 sudut, diantaranya:

  1. Dari pesan-pesnnya kepada para hakim yang diangkat dan ditugaskannya di berbagai daerah. (baik secara lisan maupun tulisan)
  2. Dari langkah-langkah atau kebijaksanaannya dalam menetapkan atau menerapkan suatu hukum terhadap masalah.

 

  • Masalah-masalah yang pernah disentuh oleh ijtihad Umar bin Khattab dan latar belakang pemikirannya
  1. Masalah “al-muallafah qulubuhum” yaitu orang-orang yang dikehendaki dijinakkan hatinya agar masuk Islam, agar tetap dalam Islam, agar jangan berbuat aniaya terhadap Islam atau agar dapat memberi pertolongan dalam turut mengalahkan musuh-musuh Islam. Latar belakang pemikirannya diberikannya bagian harta zakat kepada mereka, karena mereka diharapkan agar mereka berubah dan masuk Islam. Juga untuk menolak kemungkinan datangnya kejahatan dari mereka.
  2. Masalah Tanah Rampasan Perang. Latar belakang pemikirannya bahwa setelah tanah-tanah itu berada ditangan dan kekuasaan kaum muslimin, selanjutnya perlu pemeliharaan. Untuk itu perlu ditempatkan di tentara guna pengamanannya yang tentunya juga perlu diberi tanah untuk tempat tinggal mereka, juga penghidupan mereka. Seandainya tanah itu telah dibagi maka tujuan penelitian tersebut tidak tercapai; apabila tanah-tanah itu dibagikan kepada para tentara yang berperang, maka dikhawatirkan akan dapat menimbulkan peperangan dikalangan kaum muslimin; juga apabila tanah-tanah itu dibagikan kepada para tentara yang berperang maka dikhawatirkan akan dapat melemahkan kekuatan tentara Islam itu sendiri karena hal itu dapat menstimulir untuk berperang dengan motivasi bukan karena Allah melainkan karena ingin mendapatkan harta rampasan perang.[8]

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab III

Penutup

Kesimpulan

Ijtihad menurut etimologi ialah usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu, sedangkan menurut terminologi Ijtihad berarti mengeluarkan segala kesanggupan dan juga segala daya upaya dari seorang faqih untuk menentukan hukum syara’ dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi saw.

Dasar hukum Ijtihad, yaitu:

  • Wajib ‘Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian juga wajib ‘ain, apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ingin mengetahui hukumnya
  • Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada Mujtahid lain. Apabila semuanya meninggalkan Ijtihad, maka mereka berdosa.
  • Sunnat, yaitu Ijtihad suatu peristiwa yang belum terjadi, baik dinyatakan atau tidak.

Konsep ijtihad pada zaman Nabi yaitu dengan metode bi ar-ra’yu yaitu hampir menyerupai metode qiyas yaitu perbandingan apabila belum terdapat hukumnya dalam al-quran maupun hadits sehingga haruslah menggunakan ijtihad para sahabat atau ulama. Kemudian untuk dizaman sekarang ini apakah Ijtihad masih diperlukan ? menurut pendapat saya Ijtihad itu masih harus ada apabila terdapat permasalahan yang belum ada dasar hukumnya di al-qur’an dan hadits, juga dialam ijtihad tidak ada ruang kosong artinya untuk menegakkan hukum-hukum Allah itu haruslah ada.

لاتزل طائفة من أمّتى ظاهرين على الحقّ حتّى تقوم السّا عة

“Terus-menerus ada golongan umatku yang menegakkan kebenaran, hingga kiamat dunia.”

  • Sistem Umar bin Khattab dalam berijtihad

Dapat diamati dari 2 sudut, diantaranya:

  • Dari pesan-pesnnya kepada para hakim yang diangkat dan ditugaskannya di berbagai daerah. (baik secara lisan maupun tulisan)

Dari langkah-langkah atau kebijaksanaannya dalam menetapkan atau menerapkan suatu hukum terhadap masalah.

[1]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, hlm. 97-99

[2]Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, hlm. 50

[3]Alaidin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 128-129

[4]A. Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta: PT AKA, hlm. 151

[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, hlm. 102

[6]Ibid, hlm. 105-106

[7] Opcit, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 100-101

[8] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Antara Tradisi dan Liberlisasi), Yogyakarta: Titian Ilahi Press, hlm. 39-47

PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang Masalah

Kajian keilmuan dunia terbagi menjadi dua bagian. Yaitu wilayah timur dan barat. Amerika, Jerman, Inggris (termasuk wilayah barat) dsb. Sedangkan wilayah timur dihuni oleh Arab saudi, Mesir, Iran, Irak, Palestina, Sudan dsb. Dalam perkembangan keilmuan dan pemikiran, kedua wilayah tersebut memiliki perkembangan yang sangatlah pesat. Sehingga banyak melahirkan tokoh-tokoh dari masing-masing wilayah tersebut. Sebut saja seperti Ignaz Goldziher, Christian Snouck hurgronje, Louis Massignon dsb (wilayah barat). Sedangkan Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dsb (wilayah timur).

Seorang orientalis dan beragamakan Yahudi yang memiliki nama besar dan otoritas tinggi dalam studi Islam ialah Ignaz Goldziher, nama besar dan otoritas keilmuan inilah seorang Goldziher menjadikan pendapat dan pemikiran nya dianggap lebih berbobot dan dipercaya sebagai kebenaran. Goldziher juga tercatat sebagai satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia juga aktif dalam berbagai bidang kajian keilmuan Islam, bahkan dengan masyayikh di Al-Azhar.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana kisah hidup dari seorang Ignaz Goldziher?
  2. Apa saja karya yang dihasilkan oleh Goldziher?
  3. Apa saja pemikiran dari seorang Ignaz Goldziher?
  4. Bagaimana pandangan Goldziher tentang Hadits?

Tujuan

  1. Untuk mengetahui kehidupan dari seorang Ignaz Goldziher
  2. Untuk mengetahui karya-karya yang dihasilkan oleh Ignaz Goldziher
  3. Untuk mengetahui pemikiran dari seorang Ignaz Goldziher
  4. Untuk mengetahui pandangan Goldziher terhadap Al-Qur’an dan Hadits

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. BIOGRAFI IGNAZ GOLDZIHER

Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Szrkesfehdrvä[1] Hongaria. Dia Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Pendidikannya dimulai dari Budapest 1866, kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869.[2] Ia sangat terpengaruh pada pemikiran dosennya yang bernama Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Arminiuslah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal dari Goldziher. Ia merupakan keturunan dari seorang Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina.[3] Petualangan intelektualnya sampai ke Jerman, Belanda bahkan Mesir.

Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir al Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar.[4] Goldziher adalah satu-satunya orientalis yang sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ketika itu ia mengaku sebagai muslim dan bernama Ignaz Al-Majari. Ia berlajar secara formal dengan beberapa Syeikh Al-Azhar, diantaranya Syeikh Al-Asmawi, Syeikh Al-Mahfuz Al-Maghribi, Syeikh Sakka, dan lain-lain.[5]

Kemudian Ignaz Goldziher kembali ke Budaphes dan ditunjuk sebagai asisten dan guru besar di Universitas Budhaphes pada tahun 1872, namun tidak lama mengajar. Sebab ia di utus oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan ke luar Negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden.[6] Di Universitas ini (Budaphes), dia menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus Hadis paling penting di abad ke-19. Tahun 1904, ia dianugerahi gelar Doktor dalam bidang kesusastraan oleh Universitas Cambridge, dan gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotlandia.[7]

  1. KARYA-KARYA IGNAZ GOLDZIHER

Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M.) melalui karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pandangannya tentang hadis.[8] Selain itu beberapa karya yang dihasilkan oleh Goldziher di antaranya adalah Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum (1884), yang membahas tentang madzhab Zhahiriyah, namun berujung pada pengantar kajian fiqih. Selanjutnya karya Goldziher yang berkaitan dengan Hadis adalah Dirasah Islamiyyah, juz pertama terbit tahun 1889; Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 66 juz kedua tahun 1890. Pada tahun 1900, ia membuat makalah dengan judul Islam dan Agama Persia yang berbicara tentang pengaruh agama terhadap kekuasaan. Karya lain Goldziher adalah al-Mua’ammarin Abi Hatim as-Sijistani (1899), dan yang paling fenomenal adalah karyanya yang berjudul Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910) dan Ittijahat Tafsir al-Quran ‘inda al-Muslimin (Leiden, 1920).[9]

  1. PEMIKIRAN DAN PANDANGAN IGNAZ GOLDZIHER TERHADAP HADITS

Pemikiran Goldziher sangat menitik beratkan pada kajian tentang hadits-hadits dari Rasulullah SAW. Goldziher menuduh bahwa Hadits hanya sedikit sekali yang terpelihara, karena Hadits diturunkan secara lisan dari generasi umat selama abad pertama hijriyyah. Ini dikarenakan kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa Hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad II Hijriyyah, ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks Hadits (penulisan Hadits).[10] Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadith tertulis (Kita<ba al-H{adi<th) secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadith adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut :

  • Goldziher menganggap bahwa hadith merupakas produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadits baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.
  • Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadith yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadits-hadits klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw.
  • Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadits sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama.
  • Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadits sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadits disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.[11]

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat pandangan yang sangat berbeda antara para orientalis dengan ulama hadits tentang Islam dan hadits. Perbedaan tersebut pada dasarnya bermula dari pandangan mendasar tentang sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadits itu sendiri. Karena mereka berpendapat bahwa al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad dan hadits merupakan perkataan sahabat Nabi atau umat Islam abad pertama dan kedua Hijriyah, maka ajaran Islam bukan wahyu Allah melainkan buah pikiran Muhammad yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Taurat, Injil, dan sebagainya dan hadits berasal dari tradisi di kalangan umat Islam abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan Islam.

Pandangan negatif tentang Al-Qur’an dan Hadits juga merambah pada pemahaman tentang Islam, Hadits Nabi, eksistensi sanad dan matan hadits, termasuk didalamnya pencitraan terhadap pribadi Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam itu. Pandangan-pandangan tersebut telah dijawab oleh para ulama hadits yang menyatakan tentang kebenaran Islam dan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah serta hadits sebagai sabda Nabi. Pembelaan mereka disamping berdasarkan data sejarah dan juga argumen yang logis.


[1] Talal Maloush, THESIS PRESENTED FOR THE DEGREE OF DOCTOR OF PHILOSOPHY IN THE DEPARTMENT OF ISLAMIC AND MIDDLE EASTERN STUDIES FACULTY OF ARTS, UNIVERSITY OF EDINBURGH, AUGUST 2000 “Early Hadith Literature and The Theory of Ignaz Goldziher”  h. 2 diakses pada tgl 31-September-2016 pukul 20:50 wib.

[2] Siti Mahmudah Noorhayatie, HADITH DIMATA ORIENTALIS (Studi Krisis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), Jurnal Al-Afkar FAK.USHULUDDIN Surabaya, diakses pada tgl 01-September-2016 pukul 13:45 wib.

[3] digilib.uinsby.ac.id/2826/6/Bab%203.pdf,  h.44, diakses pada tgl 31-September-2016 pukul 19:05

[4]http://www.academia.edu/12073113/Orientalisme_Christian_Snouck_Hurgronje_Ignaz_Goldziher_dan_Louis_Massignon diakses pada tgl 31-September-2016 pukul 23:04

[5] Arta Wijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta:Al-Kautsar), 2012, h. 63-64

[6] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LkiS),2003, h. 129

[7] http://dedi-ka.blogspot.nl/2016/03/biografi-dan-kritik-pemikiran-ignaz.html diaskses pada tgl 01-09-2016 pukul 23:44 wib.

[8] Idri, Jurnal PERSPEKTIF ORIENTALIS TENTANG HADITS NABI (Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya, STAIN Pamekasan, h.201 diakses pada tgl 31-September-2016 pukul 19:05

[9] M. Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadis, (UIN) h. 65-66

[10] http://dedi-ka.blogspot.nl/2016/03/biografi-dan-kritik-pemikiran-ignaz.html diaskses pada tgl 01-09-2016 pukul 23:44 wib.

[11] Siti Mahmudah Noorhayatie, HADITH DIMATA ORIENTALIS (Studi Krisis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), Jurnal Al-Afkar FAK.USHULUDDIN Surabaya, diakses pada tgl 01-September-2016 pukul 13:45 wib.

KONSEP KOMUNIKASI ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latarbelakang Masalah

Sebagai makhluk sosial, kita sangatlah membutuhkan bantuan dari orang lain demi memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Tentunya dengan kita berkomunikasi kepada orang lain proses tersebut akan sangat membantu kita untuk menjalankannya. Inti dari berkomunikasi ialah untuk menyampaikan suatu pesan ataupun informasi kepada seorang komunikan atau audien. Karena dengan berkomunikasi secara langsung (direct communication) maka kita juga akan mendapatkan timbal balik informasi (feedback) dari seorang komunikan tersebut.

Bahkan Agama Islam pun mengajarkan kepada kita untuk berkomunikasi kepada siapapun. Sebagaimana dalam firman-Nya:

49_13

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(QS. Al-Hujurat:13).

Dalam perspektif Islam sendiri, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, tiada hari tanpa komunikasi. karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi).

Rumusan Masalah

  1. Apa konsep dari komunikasi Islam itu sendiri?
  2. Apa esensi dari komunikasi Islam?
  3. Apa saja prinsip-prinsip dalam komunikasi Islam?
  4. Bagaimana tantangan dan peluang komunikasi Islam di era globalisasi?Tujuan
  1. Untuk mengetahui konsep dari komunikasi Islam
  2. Untuk mengetahui esensi dari komunikasi Islam
  3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam komunikasi Islam
  4. Untuk mengetahui tantangan dan peluang komunikasi Islam di era globalisasi.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Konsep komunikasi Islam

Komunikasi Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran baru muncul dalam penelitian akademik sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan komunikasi barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan tersebut menimbulkan implikasi negatif terutama terhadap komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia akibat perbedaan agama, budaya dan gaya hidup dari negara-negara (barat) yang menjadi produsen ilmu tersebut.[1]

Dari perspektif agama, Islam dilihat sebagai agama yang bersifat mission yang mendesak penganutnya supaya berteruskan menyebarkan pesan baik kepada sesama muslim ataupun non muslim. setiap individu muslim dianggap komunikator agama dimana diwajibkan menyampaikan pesan berdasarkan tingkat kemampuan masing-masing. tanggung jawab ini membuat tugas komunikasi penting, bahkan diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang mendesak supaya setiap muslim menyampaikan pesan dari beliau walaupun hanya “satu ayat”. simbolis kepada “satu ayat” menunjukkan betapa pentingnya kebenaran ajaran agama disampaikan dengan efektif berdasarkan prinsip-prinsip komunikasi tertentu yang digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits.[2]

Komunikasi Islam lebih berfokus kepada teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia.

  1. Esensi komunikasi Islam

Ensensi (hakikat) komunikasi Islam adalah mengajak manusia kepada jalan dakwah yang lebih menekankan kepada nilai-­nilai agama dan sosial budaya, yakni dengan menggunakan prinsip dan kaedah yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.[3]

  1. Prinsip-prinsip komuikasi Islam

Sasaran-sasaran setiap prinsip komunikasi sebagaimana yang dijelaskan Alquran adalah sebagai berikut:

  1. Qaulan baliga, untuk kaum munafiq.
  2. Qaulan maisura, untuk menolak permintaan tanpa menyakiti.
  3. Qaulan karima, berkomunikasi dengan kedua orang tua.
  4. Qaulan ma’rufa, berkomunikasi dengan fakir miskin.
  5. Qaulan layyina, untuk pemimpin/penguasa yang dhalim (seperti Fir’aun).
  6. Qaulan sadida, untuk mendidik anak (remaja).
  7. Qaulan syawira, untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat kepentingan orang banyak (umum).
  8. Qaul az-zur, perhatian dan modal utama setiap orang dalam berkomunikasi; dengan siapa saja, dalam keadaan apa saja, dan dimana saja, senantiasa selalu untuk menjauhi perkataan yang mengandung unsur kedustaan dan kebohongan.[4]
  9. Tantangan dan peluang komunikasi Islami di era globalisasi informas

Pertama, dalam perspektif Islam, perlulah disadari bahwa informasi akan mempunyai arti hanya ia bila berada dalam kerangka pengetahuan masyarakat, hanya bila komponen sasarannya selaras dengan aspek-aspek mutlak, substitusional, kultural, dan subjektif suatu masyarakat, barulah informasi dapat memberikan sumbangan positif kepada masyarakat itu sendiri. Keselarasan semacam ini akan terjadi bilamana negara-negara muslim menghasilkan informasi mereka sendiri dengan perlengkapan relevan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pembuat keputusan dan komunitas-komunitas mereka. Strategi informasi bagi dunia Muslim harus didasarkan pada kesadaran ini.

Kedua, pada masa depan komunikasi Islam itu dapat dikembangkan dengan memperhatikan tujuh konsep pokok Islam yang mempunyai kaitan langsung dengan penciptaan dan penyebaran informasi, yakni tauhid (keesaan), ‘ilm (ilmu pengetahuan), hikmah (kebijakan), ‘adl (keadilan), ijma’ (konsensus), syura (musyawarah), istislah (kepentingan umum), dan ummah (komunitas Muslim sejagad). Seluruh konsep informasi ini dimaksudkan sebagai katalisator pembangunan dan perantara perubahan sosial.

Ketiga, peluang eksistensi komunikasi Islam pada masa depan tentu saja berangkat dari historis empirikal. Karena umat Islam telah memiliki pengalaman dan akar budaya masa lalu, menjadi sarana potensial untuk menguptodatekannya dan mengupgradenya dalam konteks kekinian.[5]

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Akselerasi teknologi informasi komunikasi telah menyebabkan perubahan dalam cara hidup dan cara berpikir umat Islam. Oleh sebab itu sikap proaktif  untuk mengambil peran dalam merumuskan konsep komunikasi Islami dalam revolusi teknologi komunikasi informasi menjadi sangat penting. Dalam perspektif Islam, penyampaian informasi lebih mementingkan pesan yang disampaikan oleh komunikan dalam framework keselamatan di dunia dan akhirat.

 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mohd. Rafiq. Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada era globalisasi informasi. (Jurnal Analytica Islamica. 2003). Vol. 5, No. 2

[2] Zulkiple Abd. Ghani. Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat. (Perpustakaan Negara Malaysia. 2003). hal. 2

[3] Abdul Karim Batubara. Studi Media Dalam Perspektif Islam: Analisis Esensi Komunikasi Islam dalam Diseminasi Informasi. (UIN Sunan Ampel Surabaya. Conference Procedings). hal. 2080

[4] Muttaqien. Prinsip-prinsip Komunikasi dalam Islam. (Jurnal: Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga)

[5] Mohd. Rafiq. Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada era globalisasi informasi. (Jurnal Analytica Islamica. 2003). Vol. 5, No. 2